![]() |
Seorang wanita membawa kendi air minum. Jurnal Foto/ Ysw |
Langit Cirebon sore itu berwarna merah, seperti lukisan yang belum selesai. Matahari lumayan terik, aroma laut dan angin hangat sudah menyapa dari jendela kereta yang baru saja berhenti di Stasiun Kejaksan. Aku turun dengan langkah ringan, membawa ransel dan hati yang ingin diisi cerita baru.
![]() |
Prasasti Alu Lumpang, Peninggalan Kraton sejarah Cirebon |
![]() |
Masjid bata merah. Jurnal Foto/ Ysw |
Aku tidak terlalu mengerti saat itu, tapi kalimatnya menempel di benak.
![]() |
Penjual sate kikil dipasar tradisional. Jurnal Foto/ Ysw |
Sore harinya, aku akhirnya tiba di tujuan: sebuah empal gentong di pinggir jalan. Warung itu tak besar, dengan papan nama nyaris pudar dan bangku kayu yang berderit saat diduduki. seakan mengikat waktu agar berjalan lebih pelan.
Pemiliknya, Pak Darto, menyambut dengan senyum lebar. “Biasa dari Jakarta, ya? Ngadem dulu. Di sini kopi enggak buru-buru.”
![]() |
Penjual empal gentong Jurnal Foto/ Ysw |
Aku duduk dan memesan empal gentong plus kopi hitam tanpa gula. Di sekeliling, ada obrolan santai tentang cuaca, kapal nelayan, dan harga cabai. Tak ada yang bicara soal deadline atau tren media sosial. Di warung itu, waktu seperti tidak punya kuasa.
Sambil makan empal gentong, aku teringat kembali kalimat pelukis tadi: “Di sini, warna bisa bicara tentang waktu.” Mungkin yang ia maksud adalah bahwa setiap warna di Cirebon punya cerita—entah itu batik biru, langit merah senja, atau warna hitam legam kopi yang kuminum sekarang.
Di Cirebon, aku menemukan bahwa waktu bisa berhenti sebentar. Bahwa warna bukan sekadar estetika, tapi juga narasi. Dan bahwa warung kopi sederhana bisa jadi tempat paling jujur untuk mengenal sebuah kota.
![]() |
Sejumlah anak bermain klereng di sekitar kesepuhan. Jurnal Foto/ Ysw |